
Perjalanan ini terasa semakin istimewa karena kami ditemani oleh sahabat kami, Bg Sulai, seorang warga asli Kampung Jada Bahrin. Dengan keramahan khas masyarakat desa, Bg Sulai mengajak kami berkeliling, mengenalkan potensi desa, serta memperlihatkan suasana alami yang membuat kami seolah-olah pulang ke rumah kedua.

Langkah pertama kami dalam petualangan ini adalah mengunjungi tempat pembuatan Gula Kabung atau yang lebih dikenal sebagai Gula Aren. Gula ini menjadi salah satu warisan budaya kuliner masyarakat Jada Bahrin. Sayangnya, saat kami tiba, pemilik tempat sedang mencari bahan baku, sehingga kami tidak bisa menyaksikan langsung proses pembuatannya.
Meskipun begitu, kami masih berkesempatan melihat berbagai peralatan tradisional yang digunakan untuk membuat gula kabung ini. Mulai dari wadah-wadah besar untuk merebus nira, hingga alat-alat sederhana yang memperlihatkan bagaimana masyarakat setempat menjaga tradisi mereka. Dari penuturan Bg Sulai, kami mendapat gambaran bahwa proses pembuatan gula kabung tidak hanya membutuhkan keterampilan, tapi juga kesabaran dan ketelatenan luar biasa.
Perjalanan kami kemudian berlanjut menuju sebuah dermaga kecil yang terletak di pinggir sungai desa. Suasana di dermaga ini terasa begitu hidup. Sungai ini menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar. Banyak warga yang mengandalkan sungai ini untuk menangkap ikan, udang, dan kerang — hasil alam yang kemudian dijual atau dikonsumsi sendiri.

Tidak hanya itu, sungai ini juga menawarkan potensi luar biasa sebagai spot memancing yang alami dan menantang. Pemandangan sekitarnya yang hijau, dan suara alam yang menenangkan membuat kami tak tahan untuk ikut menyusuri sungai menggunakan perahu kecil.
Menyusuri aliran sungai Jada Bahrin menghadirkan sensasi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Di kanan-kiri kami, hutan mangrove yang lebat seolah menjadi benteng alami yang menjaga sungai tetap bersih dan asri. Beberapa burung tampak beterbangan, menciptakan suasana damai yang menyejukkan hati. Momen ini benar-benar membuat kami merasa kecil di tengah kebesaran ciptaan Tuhan.
Sebelum mengakhiri petualangan, kami menyempatkan diri bertamu ke rumah Mang Jumli, salah satu tokoh masyarakat yang dikenal sebagai ahli pengobatan alternatif. Beruntung, saat kami datang, beliau sedang tidak menerima pasien, sehingga kami bisa berbincang santai.

Obrolan kami dengan Mang Jumli membuka cakrawala baru tentang bagaimana pengetahuan pengobatan tradisional masih sangat dihargai di desa ini. Dengan kemapuannya, Mang Jumli sudah membantu banyak orang mengatasi berbagai penyakit. Kesederhanaannya, keramahannya, serta kecintaannya terhadap ilmu pengobatan membuat kami merasa betah berbincang lama-lama.
Tak terasa, senja mulai turun. Setelah berbagi cerita dan canda tawa, kami berpamitan dan mengakhiri perjalanan hari itu.
Kampung Jada Bahrin mungkin tidak memiliki gemerlap seperti destinasi wisata populer lainnya, namun di sanalah letak keistimewaannya. Di balik kesederhanaannya, desa ini menawarkan keindahan alam yang masih murni dan kehidupan masyarakat yang sangat bersahaja.
Melalui perjalanan ini, kami belajar bahwa kekayaan sejati bukan hanya soal materi, melainkan tentang hubungan manusia dengan alam, tradisi yang terus dilestarikan, dan kebersamaan yang menghangatkan hati.
Jika suatu hari kamu mencari pengalaman wisata yang lebih dari sekadar foto Instagram, Kampung Jada Bahrin mungkin adalah jawabanmu — tempat di mana keaslian, kedamaian, dan kehangatan masih tetap hidup di setiap sudutnya.
Komentar
Posting Komentar