
Pagi itu, kami sepakat untuk berkumpul terlebih dahulu di Masjid Besar Al-Istiqomah, Mendo Barat. Dari titik kumpul ini, tim dari Pangkalpinang dan Sungailiat akhirnya bertemu dan bersiap memulai perjalanan. Tepat pukul 08:15 WIB, kendaraan mulai melaju membelah jalanan pedesaan yang asri. Suasana perjalanan terasa singkat hanya sekitar 20 menit hingga kami akhirnya tiba di Desa Petaling.
Udara pagi yang sejuk, hamparan pepohonan hijau, dan keramahan khas masyarakat desa langsung menyambut kedatangan kami. Namun, tujuan pertama kami bukanlah sekadar menikmati panorama, melainkan menapaki kembali jejak sejarah perjuangan di tanah Bangka.
Destinasi awal adalah Tugu Pahlawan 12 Desa Petaling, sebuah monumen bersejarah yang menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Bangka melawan penjajah pasukan sekutu dan NICA Belanda pada tahun 1946.

Tugu ini bukan hanya sekadar bangunan, melainkan simbol penghormatan terhadap 12 Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang gugur dalam pertempuran di Bukit Mat Andil, Desa Petaling. Nama-nama mereka diabadikan, menjadi pengingat akan keberanian dan pengorbanan:
Adam A Cholik, Suwandi Bungkel, A Somad, Jamaj Asikin, Madud Gambang, Apip Adi, Ali Samid, Salim Adok, Sarimin Senen, Kamsem, Karto Saleh, dan Sulaiman Samin
Berdiri di hadapan tugu tersebut, kami seakan dibawa kembali pada masa penuh gejolak, saat para pejuang rela mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan. Ada rasa haru sekaligus bangga bahwa di desa kecil ini, lahir pahlawan-pahlawan besar yang namanya patut dikenang sepanjang masa.

Perjalanan kemudian berlanjut ke rumah seorang seniman dambus legendaris di Desa Petaling, Atok Awis. Nama beliau sudah tidak asing di kalangan pecinta seni tradisional Bangka. Dambus sendiri adalah alat musik petik khas Bangka yang bentuknya menyerupai gitar, namun dengan suara yang unik dan syair-syair khas Melayu.
Kami disambut hangat di kediaman beliau. Dengan penuh semangat, Atok Awis bercerita tentang dunia seni dambus bagaimana ia belajar, menjaga tradisi, dan melestarikan kesenian yang kian jarang dimainkan generasi muda.

Tak lama, beliau mengambil dambusnya, memetik senar demi senar, lalu melantunkan syair yang puitis. Suara dambus berpadu dengan lantunan lirik khas, menciptakan suasana syahdu sekaligus membangkitkan rasa cinta pada budaya lokal. Kami pun larut dalam alunan tersebut, menikmati setiap nada yang penuh makna.
Setelah cukup lama berbincang dan menikmati seni dambus, kami berpamitan kepada Atok Awis. Tujuan berikutnya adalah rumah dan kebun milik Mardi Kapling, seorang penggiat sekaligus pemilik brand lokal Kopi Kapling.
Beliau menyambut dengan ramah, lalu mengajak kami berkeliling kebun kopi yang terletak persis di samping rumahnya. Di sini, kami bisa melihat langsung pohon-pohon kopi yang tumbuh subur, proses pemetikan biji kopi, hingga tahap penjemuran.

Tidak berhenti di situ, Mardi juga memperlihatkan kepada kami proses pengolahan sederhana kopi khas Desa Petaling. Tentu saja, perjalanan tidak akan lengkap tanpa mencicipi langsung secangkir kopi olahan tangan beliau. Aromanya begitu kuat, rasanya mantap, meninggalkan kesan hangat di tenggorokan. Satu tegukan saja sudah cukup membuat kami jatuh cinta dengan cita rasa khas Kopi Kapling.

Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, hari mulai beranjak sore. Dengan perasaan senang sekaligus puas, kami berpamitan dari Desa Petaling. Perjalanan singkat ini ternyata memberikan begitu banyak pelajaran: tentang sejarah perjuangan yang membangkitkan semangat nasionalisme, tentang seni tradisional dambus yang meneguhkan identitas budaya, dan tentang kopi lokal yang menjadi simbol ketekunan serta kecintaan pada alam.
Desa Petaling bukan hanya sekadar titik di peta Bangka, melainkan sebuah ruang hidup yang menyimpan kisah heroik, warisan budaya, dan cita rasa autentik. Dari Tugu Pahlawan 12 yang membangkitkan rasa hormat, lantunan dambus Atok Awis yang menyentuh hati, hingga aroma kopi Kapling karya Mardi yang memikat lidah semuanya adalah mozaik indah yang membentuk wajah Desa Petaling.
Perjalanan ini mengajarkan kami bahwa keindahan sebuah desa bukan hanya pada panorama alamnya, tetapi juga pada cerita-cerita yang hidup di dalamnya. Desa Petaling adalah bukti bahwa sejarah, budaya, dan tradisi bisa berjalan beriringan, memberikan pengalaman berharga bagi siapa saja yang singgah.
Komentar
Posting Komentar