Fenomena Telur Berdiri di Peh Cun: Eksotisme Desa Deniang yang Sarat Tradisi dan Potensi Wisata

Untuk kedua kalinya, kami kembali menapakkan kaki di Desa Deniang, sebuah desa kecil yang menyimpan sejuta cerita, tradisi, dan potensi luar biasa. Kedatangan kali ini terasa lebih istimewa karena bertepatan dengan perayaan tradisi Peh Cun, sebuah momen penting bagi masyarakat Tionghoa di Pulau Bangka. Tradisi ini bukan hanya sarat makna spiritual, namun juga menyuguhkan fenomena unik yang hanya terjadi setahun sekali—yakni fenomena telur berdiri dan air laut yang surut ekstrem.

Pukul 11 siang, kami berkumpul di Kantor Desa Deniang bersama tim desa. Suasana penuh antusiasme, cuaca cerah, dan semangat kami untuk menyaksikan langsung keunikan Peh Cun semakin membuncah. Sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di Pantai Pulau 3. Di sana, kami disambut oleh keramaian pengunjung. Kebetulan momen ini juga bersamaan dengan libur panjang Idul Adha dan akhir pekan, menjadikan pantai banyak masyarakat yang sedang menikmati liburan keluarga.

Setibanya di pantai, pemandangan luar biasa langsung menyambut kami. Air laut surut sangat jauh hingga membuka akses menuju pulau kecil di depannya. Hamparan bebatuan yang biasanya tersembunyi kini tampak jelas, menciptakan lanskap alam yang sangat menawan. Fenomena ini memang langka dan hanya terjadi di momen-momen tertentu seperti Peh Cun.

Tepat pukul 12.00 siang, kami melakukan eksperimen kecil yang sudah lama ingin kami buktikan—mendirikan telur ayam di atas pasir pantai. Dan benar saja, telur-telur yang kami beli sebelumnya berdiri dengan sempurna! Fenomena ini diyakini hanya bisa terjadi saat Peh Cun karena kondisi bumi yang unik, mirip dengan fenomena ekuinoks. Menurut Pak Abok—salah satu tokoh masyarakat—ada titik-titik tertentu di Bangka seperti Pulau Simbang, Bedukang, yang mengalami surut laut ekstrem hingga masyarakat bisa berjalan kaki menyeberangi lautan. Di sana pula biasanya masyarakat Tionghoa membuang kue Bacang (Nyukcung) sebagai bagian dari ritual penghormatan kepada leluhur.

Pak Akbar Syaukani, Kepala Desa Deniang, menyampaikan harapannya agar tradisi Peh Cun ke depan bisa dikembangkan menjadi event pariwisata tahunan. Dengan penataan yang tepat, berbagai kegiatan budaya dan hiburan bisa dikemas untuk menarik wisatawan, sekaligus memperkenalkan kekayaan alam dan budaya Desa Deniang.

Tak hanya berhenti di sana, kami pun diajak menyusuri Pulau Dewi Kwan Im, sebuah pulau kecil di seberang yang hanya bisa dicapai saat air laut surut. Kami berjalan kaki melewati hamparan bebatuan yang tertutup saat pasang. Pulau ini dinamai demikian karena terdapat sebuah batu besar yang konon mirip patung Dewi Kwan Im, sosok suci dalam kepercayaan Tionghoa. Dari tepi pantai, kami bisa melihat siluet batu tersebut dan memang—sungguh menyerupai sosok sang dewi.

Panorama di sekitar pulau sangat eksotis. Batu-batu besar tersusun rapi alami, menciptakan pemandangan yang memukau dan penuh keheningan spiritual. Kami pun menyempatkan diri untuk duduk santai sambil bercengkrama di tengah keindahan alam.

Ketika air mulai pasang, kami kembali ke Pantai Pulau 3. Suasana di pantai semakin ramai. Beberapa keluarga tampak berpiknik, memanggang ikan, dan bersantai di gazebo-gazebo yang telah disediakan. Fasilitas di pantai ini tergolong lengkap: ada mushola, kamar mandi, dan tempat sewa pondokan, menjadikannya tempat liburan yang nyaman dan terorganisir.

Keseruan belum berakhir. Kami dipanggil oleh Pak Kades ke sebuah pondok yang ternyata akan dijadikan pusat pengolahan dan produksi gula aren (gula kabung). Tempat ini sedang dalam tahap uji coba dan direncanakan menjadi salah satu unit UMKM andalan Desa Deniang. Kami pun diajak melihat langsung proses pembuatannya—dari penyadapan nira hingga pemasakan menjadi gula batok. Ini merupakan potensi luar biasa yang bisa dikembangkan tidak hanya untuk pasar lokal, tetapi juga sebagai oleh-oleh khas desa.

Perjalanan kami ditutup dengan menyusuri jalan menuju dermaga batas desa Deniang dan Desa Mapur, melewati Kampung Bedukang yang mayoritas penduduknya adalah warga Tionghoa. Sayangnya, dermaga ini adalah milik perusahaan dan tidak dibuka untuk umum, namun tetap memberikan gambaran akan potensi ekonomi maritim yang besar di kawasan ini.

Desa Deniang bukan hanya sekadar destinasi wisata biasa. Di balik pasir putihnya, tersembunyi kekayaan budaya, fenomena alam unik, hingga potensi ekonomi desa yang menjanjikan. Tradisi Peh Cun yang dirayakan masyarakat Tionghoa menjadi salah satu daya tarik tersendiri, terlebih dengan adanya fenomena telur berdiri dan surutnya air laut yang menghubungkan pulau-pulau kecil. Dengan pengelolaan yang tepat dan dukungan masyarakat, Desa Deniang bisa menjadi ikon pariwisata budaya dan alam di Bangka. 

Komentar